HARI RAYA IDUL ADHA 1441 HIJRIYAH

Gema takbir, tahmid dan tahlil berkumandang saling bersahutan memenuhi angkasa di seluruh penjuru dunia seiring hadirnya hari Raya Idul Adha. Apakah Idul Adha dipandang sebagai ritual tahunan atau diharapkan kedatangannya untuk sekadar berlibur, dinanti tibanya untuk mengenang momentum indah bersama keluarga dan sanak saudara, atau dimaknai sebagai landasan berpijak untuk refleksi diri atas semua yang telah terjadi, sembari mengambil hikmah dan pelajaran dari substansi “Hari Raya Kurban”?

Paradigma kontemporer mengarah pada pola hidup dan perilaku keberagamaan secara simbolik merupakan hasil kolaborasi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan gaya hidup moderen yang serba instan dan sarat nuansa sekuler—memisahkan agama dengan kehidupan dunia.

Perintah dan larangan agama yang tertuang dalam rangkaian syari’at suci dipandang sebagai sebuah teologi (ritual) semata, menutupi kebiasaan harian yang lebih mementingkan produktivitas keduniaan dengan berjejalnya tugas dan kewajiban yang selalu mengejar untuk segera diselesaikan. Mengelabui komunitas di sekitarnya agar tetap dianggap insan yang beragama dan menjunjung tinggi nilai-nilai serta ajaran agamanya, atau supaya tetap dipandang layak hidup dan tinggal di negeri yang berdasarkan “Ketuhanan”.

Bahkan, yang lebih ironis, merasa sangat puas dan terhormat dengan menyisihkan sebagian hartanya untuk dikurbankan bagi para dhuafa, fakir miskin dan anak yatim yang ada di sekitarnya, tanpa pernah memahami dengan benar ajaran yang terkandung di dalamnya dan hikmah dari syari’at yang telah dijalankan.

Makna substansial dan keagungan Hari Raya Kurban telah tereduksi. Pembelajaran untuk mensucikan ketauhidan serta pengorbanan tak kenal batas kepada Tuhan nyaris pupus dan wisata ruhiah telah tersubstitusi dengan wisata badaniyah dengan segala atribut kecintaan terhadap dunia secara berlebihan (hubbud-dunya).

Imbas keshalehan sosial yang seharusnya terefleksi dari peristiwa besar tersebut, melalui  kecintaan dan kasih sayang antarsesama manusia hanya tampak di permukaan, bersifat sementara, bahkan hanya terjadi pada hari itu saja. Selebihnya kembali seperti hari biasa: berkompetisi tak kenal etika, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memperbudak yang miskin, para penguasa berlaku dzalim bahkan para kyai dan ulama telah banyak tergoda dengan memperjual-belikan ayat-ayat Allah, SWT dengan harga yang sangat rendah demi  keuntungan dan kemakmuran pribadinya. Gambaran tatanan masyarakat yang sangat paradoks dengan jumlah masyarakat muslim terbesar sejagad.

Hikmah dan Pelajaran Idul Adha

Momentum Hari Raya Idul Adha (Hari Raya Kurban) merupakan pembelajaran pengorbanan dan ujian keimanan terberat sepanjang sejarah peradaban manusia, yang diperankan oleh  Nabi Ibrahim, AS. dan Nabi Ismail, AS. sebagaimana disinyalir dalam firman Allah, SWT, “Sesungguhnya ini merupakan uji coba yang nyata” (QS. Ash-Shafat: 106). Dalam lanjutan kisah pengorbanan tersebut, atas kekuasaan dan kehendak Allah, SWT maka Nabi Ismail digantikan dengan seekor domba besar dan sangat indah, yang dahulu dikorbankan oleh Habil (putra Nabi Adam, AS), sebagaimana firman Allah, SWT, “Kami tebus anaknya itu dengan sembelihan besar (seekor domba/kibas)”. (QS. Ash-Shafat:107).

Ketaatan Nabi Ibrahim, AS, serta keikhlasan dan kesabaran Nabi Ismail, AS, dalam menjunjung tinggi perintah Allah, SWT mengundang kekaguman para malaikat, yang segera menyerukan kalimat takbir, “Allahu akbar, Allahu akbar”, dan disambut Nabi Ibrahim dengan kalimat tahlil, “Laa ilaha illallahu Allahu akbar”. Disusul seruan Nabi Ismail dengan ucapan tahmid, “Allahu akbar walillah ilhamd”. Rangkaian kalimat suci tersebut diabadikan hingga sekarang. Rangkaian kalimat yang mulia ini menghiasi ratusan juta bibir umat Islam saat merayakan Idul Adha.

Peristiwa besar dan Agung tersebut tentunya mengandung banyak hikmah dan pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh umat manusia untuk dipahami dan diteladani dalam menjalankan kehidupan dialam semesta ini. Yakni, pertama, hendaknya hanya kepada Allah segenap cinta dicurahkan, sebab rahmat dan nikmat-Nya kita terima setiap saat, tak terhitung nilai dan kuantitasnya meski menggunakan air laut sebagai tintanya dan seluruh ranting pepohonan sebagai penanya. Niscaya akan kering seluruh lautan dan habis semua pepohonan, sedangkan  nikmat Allah masih terlalu banyak yang belum dapat dituliskan.

Hal tersebut sebagaimana difirmankan Allah dalam Al Quran: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” (QS. Al-Kautsar : 1-2). Ibadah kurban merupakan perintah Tuhan untuk mengorbankan dan menyembelih sifat egois, sikap mementingkan diri sendiri, rakus dan serakah, yang dibarengi dengan kecintaan kepada Allah, diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Teladan paling mulia tentang kecintaan kepada Allah sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dengan kesediaan menyembelih putra kesayangannya.

Kedua, selayaknya hanya kepada Allah dipersembahkan segala puja dan puji. Perintah berkurban bagi mereka yang diberi kelebihan rezeki dan membagikan dagingnya untuk kaum miskin dan dhuafa mengandung pesan penting ajaran Islam bahwa “Anda bisa dekat dengan Allah hanya ketika Anda bisa mendekati dan menolong saudara-saudara kita yang serba kekurangan”, sehingga terbangun ikatan solidaritas sosial dan semangat tolong-menolong antaranggota masyarakat. Sikap tersebut dapat mengurangi kesenjangan sosial dan menjaga suasana kehidupan harmonis di antara sesama warga.

Menyembelih hewan kurban bukanlah media untuk mendapatkan pujian atas pengurbanan yang telah dilakukan, apalagi mengharap agar dianggap sebagai orang yang dermawan. Sungguh ironis. Hakekatnya hanya Allah, Dzat yang pantas menerima pujian karena kebesaran dan keagungan-Nya, yang telah menciptakan seluruh makhluk di alam semesta dan seisinya, mematikan yang hidup, lalu menghidupkan yang mati, menganugerahkan kepintaran kepada mereka yang sebelumnya tak mengerti, memberikan kekuasaan kepada mereka yang sebelumnya sangat lemah.

Ketiga, hanya kepada Allah tempat berserah diri atas segala amal ibadah yang didirikan siang dan malam. Dzikir yang dilafadzkan pagi dan petang didasari dengan niat ikhlas tanpa mengharapkan pujian dari makhluk-Nya adalah wujud pengabdian hamba kepada Rabb-nya. Bukankah setiap hari kita berikrar dalam doa iftitah setiap menunaikan ibadah shalat, “Sesungguhnya shalatku dan semua ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, SWT, Tuhan semesta alam.”

Sesungguhnya masih banyak hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dari ibadah kurban. Melalui ibadah kurban, nurani manusia diasah. Kerakusan manusia digugat, bahkan segala bentuk ketidakadilan sosial digugat. Demikianlah relevansinya umat Islam untuk memelihara nyala api ibadah kurban dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan.

Para inisiator, pelaku dan pemerhati PNPM Mandiri Perkotaan yang selalu bergelut dan bergulat untuk menumbuhkan kepekaan terhadap kepentingan kemanusiaan (human interest) seyogianya menjadikan momentum Hari Raya Idul Adha tersebut sebagai ruang peristirahatan “ruhiyah” guna memperbaiki data anomali yang merasuki hati, fakta invalid yang menggoda pikiran dan target inkonsisten yang mereduksi semangat keberagamaan. Sehingga, budaya manipulasi terhadap orang lain maupun diri sendiri akan terhindarkan.

Perilaku “ABS” tidak lagi bergelayut di tengah iklim profesional dan motivasi kerja menemui kutub posisitifnya. Tidak sekadar menggugurkan kewajiban, melainkan berusaha keras mempertanggungjawabkan seluruh ketentuan yang telah disepakati, rencana yang telah disusun untuk dicapai serta target capaian yang telah diikrarkan untuk diraih. Menjadikan ranah profesi sebagai media pengabdian kepada sesama makhluk sekaligus tempat peribadatan kepada Sang Khalik. (Suyitno Masdar, TA MK OC-7 Provinsi NTB, PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)

Sumber : http://kotaku.pu.go.id:8081/wartaarsipdetil.asp?mid=2821&catid=2&