(Perjuangan Kyai Haji Gholib dalam Menghadapi Serangan Agresi Militer Belanda di Lampung Tahun 1949)
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada Perang Dunia II tanggal 15 Agustus 1945 mengakibatkan Indonesia berada dalam situasi kekosongan kekuasaan atau (vacuum of power). Situasi tersebut menjadi “kesempatan emas” bagi bangsa Indonesia untuk segera memproklamasikan kemerdekaannya. Maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. H. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Perjuangan bangsa Indonesia setelah ini memasuki tahap baru, yaitu perjuangan mempertahankan kemerdekaan terhadap ancaman penjajahan yang ingin kembali menguasai Indonesia. Para Penduduk Lampung sudah mulai memasang Bendera Merah Putih pada tanggal 24 Agustus 1945, walaupun di Lampung masih banyak tentara Jepang dengan persenjataan yang lengkap se rta siap siaga. Tidak lama terjadi insiden antara penduduk pribumi dengan prajurit Jepang sehingga terjadi bentrokan yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa antara penduduk pribumi dan Jepang. Untungnya terjadi hubungan antara Residen Jepang dan Residen RI sehingga terjadi kesepakatan yang dapat mengakhiri bentrokan antara penduduk dan prajurit Jepang. Para prajurit di pulangkan ketanah airnya melalui Palembang. Kedamaian ini tidak berlangsung lama. Belanda tidak begitu saja mengakui kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang telah memproklamasikan kemerdekaannya.
Belanda ingin kembali menjajah Indonesia karena kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Berbagai cara dilakukan Belanda baik dengan jalan diplomasi maupun jalan militer. Bangsa Indonesia juga tidak menyerah mereka melakukan dengan cara jalan diplomasi yang sengaja mereka tempuh dengan melibatkan tokoh-tokoh bangsa Indonesia agar mendapatkan simpati dari dunia Internasional, dan paling tidak mendapatkan pengakuan dari Belanda bahwa Indonesia merupakan sebuah Negara ( Dewan Harian Daerah Angkatan 45 1994:146)
Belanda tidak mengakui bahwa Indonesia merupakan sebuah Negara. Belandapun semakin mendesak dan menekan Indonesia dengan melakukan berbagai cara salah satunya melalui perundingan Renville pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa – Bangsa mengeluarkan revolusi genjatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Perjanjian Renville. Diadakan di wilayah netral yaitu di atas kapal milik Amerika Serikat dan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia atau yang mewakili oleh Perdana Mentri Amir Syarifuddin Harahap, Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr.J. Leimena sebagai wakil, Dr. Coatik Len, dan Nasrun. Delegasi Kerajaan Belanda di pimpin oleh kolonel KNIL Abdulkadir Widjojoatmodjo, Mr. H.A.L. Van Vredenburg, Dr. P. J. Koets, dan Mr. Dr. Chr. Soumokil. Delegasi Amerika Seikat di pimpin oleh Frank Poter Graham. setelah selesai mengadakan perundingan Renville ini yang isinya semakin memojokkan pihak RI karena wilayahnya Indonesia semakin di persempit oleh Belanda..
“Akibat dari persetujuan Renville” Daerah R.I yang dengan persetujuan Linggarjati terbatas pada Sumatra, Jawa dan Madura lebih diperkecil lagi. Perjanjian yang telah di setujui Belanda tidak memakan waktu lama, Belanda kembali lagi berulah untuk semakin mempersempit wilayah RI dengan cara melanggar isi perjanjian yang telah di sepakati. Belanda melakukan penggempuran di wilayah – wilayah sekitar Indonesia. Untungnya Tidak sampai ke Lampung. Setelah merdeka Lampung masih belum berani mengibarkan bendera merah putih karena belum ada instruksi dari pemerintah pusat. Tanggal 5 September 1945 ada instruksi bahwa segera dilakukan pengoperan kekuasaan di kewedanan – kewedanan serta mengibarkan Bendera Merah Putih secara menyeluruh dengan penjagaan seperlunya terhadap Merah Putih. Kehidupan masyarakat Lampung berjalan adem, ayem, dan tentram namun tidak lama kemudian terjadi Agresi Militer Belanda II. Pada tanggal 1 Januari Belanda berhasil mendaratkan pasukannya di Lampung melalui dua jalur, yaitu dari arah Martapura dan dari selatan mulai dari Pelabuhan Panjang dalam penyerbuan dari arah Panjang Belanda mempergunakan armada dan pesawat terbang. Belanda yang mendaratkan pasukannya di Panjang dan langsung menyerang Kota Tanjungkarang serta berhasil menduduki wilayah Tanjungkarang dan sekitarnya yang merupakan sebagai pusat pemerintahan Lampung. Dengan singkat Belanda dapat menguasai Kota Tanjungkarang dan sekitarnya. Para pejabat pemerintahan melarikan diri dan mengungsi di berbagai daerah seperti Gedongtatan, Gadingrejo, Kedondong, Pringsewu. Di Pringsewu pemerintah keresidenan Lampung bertempat di rumah salah satu ulama terkemuka di daerah Pringsewu ( Surya Palo. 2008: 6 ) Alasan mengapa pemerintahan melarikaan diri ke Pringsewu di karenakan terdapat salah satu tokoh terkemuka yang sangat besar pengaruhnya di masyarakat sehingga membuat pemerintahan Lampung berduyun – duyun untuk mencari tempat perlingungan yang aman.
Pada saat Belanda akan menguasai Pringsewu, Belanda mendapatkan banyak perlawanan dari TNI, TKR, BKR dan para ulama beserta masyarakat setempat yang menentang Belanda dengan menggunakan alat seadanya. Pihak Belanda sempat kewalahan dan dapat dipukul mundur oleh TNI, TKR, BKR dan khususnya para ulama beserta laskarnya Hisbullah seraya berjihad untuk memerangi kaum penjajah, karena Begitu gigihnya perjuangan para ulama ini maka Belanda mensiasati untuk menangkap para ulama yang dianggap berperan penting dalam perjuangan melawan pihak Belanda, karena Fenomena seorang tokoh agama menduduki posisi tersendiri bagi masyarakat. Hampir semua lapisan masyarakat mengakui hal itu. Ulama dianggap orang yang suci yang prilakunya harus diikuti maupun di dihormati. Hasbi Amirudin mengatakan pemuka agama tetap merupakan suatu kelompok yang diakui eksistensinya. Secara sosial mereka sangat dekat dengan rakyat, sebab hubungan tersebut lebih bersifat personal dari pada birokratis. Masyarakat memerlukan tokoh agama untuk membimbing mereka ke jalan yang benar dalam segala persoalan yang berkaitan dengan agama ( Noer Huda,2007:114 ).
Mengingat peran kyai begitu besar dalam pengaruh kehidupan masyarakat Indonesia pada khususnya maka pada masa pemerintahan kolonial Belanda para kyai sering dijadikan sebagai target pencarian oleh para tentara Belanda untuk dibunuh. Pemerintah kolonial Belanda mencurigai para ulama, terutama ulama dari kalangan pesantren ( ulama rakyat ). Para ulama pesantren pada umumnya memiliki tingkat fanatisme Islam yang sangat tinggi. Mereka sangat mudah menumbuhkan kebencian dan rasa permusuhan yang mendalam terhadap orang-orang Belanda yang mereka ketahui sebagai kafir, orang yang suka menindas, menyiksa, memeras dan sebagainya kepada masyarakat. (Ariyani Farida.2008:5-6 ).Seperti halnya dengan K.H. Gholib, beliau sangat tersohor dan sangat dihormati di daerah Pringsewu. K.H Gholib di tunjuk langsung sebagai pimpinan pasukan griliya yang di tentukan melalui hasil musyawarah antara Mr. Gele Harun, wakilnya M. Yasin dan tokoh – tokoh seperti Kapten Alamsyah, Mayor Effendy.
Dengan keadaan yang begitu goyah K.H Gholib membangkitkan lagi semangat berkobar kepada rakyat untuk bergerak mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan RI yang di peroleh dengan membentuk pasukan Jihad yaitu Hisbullah. Beliau mulai berhasil menarik simpatik rakyat Pringsewu juga berperan penting dalam usaha melawan penjajah bersama laskar hisbullah walaupun dengan menggunakan alat seadanya seperti golok, bambu runcing, pedang, celurit, keris, yang di bantu dengan TNI, TKR dan BKR hal ini dapat merepotkan pihak Belanda. Perjuangan K.H Gholib untuk melawan penjajah mendapat sorotan keras dari pihak Belanda. Oleh karena itu Belanda menjadikan beliau sebagai target penangkapan karena usaha-usahanya dalam melawan penjajah sangat merepotkan Belanda ( Dewan Harian Angkatan 45 1996 : 146 )