Kutipan : 30 September 2018, dalam seminar sehari di Kantor INSISTS Jakarta, tema “Pendidikan Guru Keluarga”. Pengambilan tema karena berkaitan dengan tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Sebab, dalam pandangan Islam, pendidikan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab orang tuanya; bukan tanggung jawab sekolah atau pesantren.
Ironisnya, jika kita telaah kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus kita, kita tidak menjumpai adanya mata pelajaran atau mata kuliah khusus tentang “bagaimana menjadi orang tua yang baik.” Dunia pendidikan kita didominasi dengan pola pikir dan tujuan untuk mencetak buruh atau pekerja yang baik.
Program Studi (Prodi/Jurusan) di Perguruan Tinggi diberikan ijin untuk beroperasi, jika memiliki proyeksi, lulusannya akan bekerja di mana atau sektor apa. Maka, kita jumpai ada prodi Kedokteran, Kedokteran Gigi, Kedokteran Hewan, Farmasi, Hukum, Sosiologi, Akuntasi, Teknik Informatika, Manajemen, dan sebagainya. Tetapi, tidak ditemukan adanya Prodi Istri Shalihah, Prodi Suami Baik, Prodi Ayah Teladan, dan sebagainya.
Jadi, para pelajar dan mahasiswa kita, sampai lulus S-3 sekali pun, pada umumnya tidak diberikan ilmu yang memadai untuk menjadi suami/istri dan orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Karena itu, di pemerintahan pun, tidak dijumpai Kementerian Pemberdayaan Keluarga. Yang ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak-anak. Seolah-olah, laki-laki sudah berdaya semua, sehingga tidak perlu diberdayakan lagi. Padahal, kini, tidak sedikit laki-laki – bahkan yang punya jabatan tinggi di pemerintahan – yang tidak berdaya di hadapan seorang perempuan.
Urusan keluarga di pemerintahan diserahkan kepada satu lembaga bernama BKKBN. Masyarakat tahunya, lembaga ini punya tugas utama: membatasi jumlah anak. Slogannya: “dua anak cukup” atau “dua anak lebih baik”. Padahal, hampir semua Presiden Indonesia, memiliki anak lebih dari dua.
Disebutkan, bahwa tugas pokok BKKBN adalah: “Pembinaan, pembimbingan, dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengendalian penduduk, penyelenggaraan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, keluarga sejahtera dan pemberdayaan keluarga.”
Mengapa kita tidak berpikir, bahwa manusia adalah potensi bangsa yang luar biaa? Bahkan, kita sepakat, bayi manusia jauh lebih berharga dibandingkan bayi babi. Jika anak itu diasuh dan dididik dengan benar, insyaAllah ia akan menjadi potensi yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Jadi, intinya bukan pengendalian, tetapi keadilan dan pendidikan!
Saya pikir, sangat adil, jika Pak BJ Habibie memiliki anak 10 orang. Sebab, beliau jelas ‘manusia super hebat’, ‘bibit super unggul’. Belum tentu, seratus tahun lagi, akan lahir manusia Indonesia sekualitas Pak Habibie. Bukankah sila kedua Pancasila adalah “Kemanusiaan yang adil dan beradab!” Bukannya, kemanusiaan yang sama rata dan sama rasa?
Kondisi di Barat
Entah kebetulan atau tidak, hal ini pun terjadi di AS dan negara-negara Barat pada umumnya. Dalam bukunya, Tragedy and Hope: A History of The World in Our Time, Prof. Caroll Quigley, guru besar Georgetown University, USA, mengakui, bahwa masyarakat Barat (Western society), telah meraih berbagai kesuksesan. Misalnya, mereka telah mampu mengontrol pertumbuhan penduduk, menghasilkan kekayaan dan mengurangi kemiskinan. Bahkan, mungkin, dalam waktu dekat, mereka akan mampu menunda kepikunan dan kematian.
Tapi, simpul Quigley, satu hal terpenting yang masyarakat Barat belum paham adalah bagaimana mendidik anak-anak mereka menjadi orang tua yang matang dan bertanggung jawab. “Some things we clearly do not yet know, including the most important of all, which is how to bring up children to form them into mature, responsible adults…” kata Prof. Quigley, yang juga anggota The American Association for the Advancement of Science.
Jadi, jika masyarakat Barat tidak paham, bagaimana mendidik anak-anak mereka menjadi orang tua yang baik, apakah dengan itu, lalu dunia pendidikan formal kita pun tidak menjadikan pendidikan keluarga sebagai hal inti dan sangat penting?
Dunia perkawinan di Indonesia kini menghadapi tantangan yang sangat serius. Angka perceraian begitu tinggi. Tahun 2016, tercatat ada sekitar 350 ribu kasus perceraian.
Ironisnya, 70 persen perceraian terjadi atas keinginan pihak istri. Itu terjadi, utamanya karena mereka tidak paham makna keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Dan ini adalah masalah pendidikan keluarga!
Dalam beberapa kesempatan memberikan nasehat perkawinan, saya menekankan perlunya suami-istri paham betul tentang tanggung jawab pendidikan keluarga ini. Tanggung jawab utama ada pada suami, karena ia yang akan dimintai pertanggungjawaban sebagai pemimpin keluarga.
Program pembangunan dan pendidikan keluarga kita, sepatutnya tidak menjiplak tradisi di Barat yang tidak punya konsep kepemimpinan suami dalam keluarga. Suami-istri dianggap setara dalam semua hal. Tidak ada konsep “istri wajib taat suami”, sebagaimana juga tidak punya konsep dosa jika “anak tidak taat pada orang tua.”
Karena itulah, sebelum memasuki kehidupan rumah tangga, suami – utamanya – harus paham benar, bahwa kewajiban suami bukan hanya ngasih makan, tetapi juga mendidik anak-istrinya, agar mereka sekeluarga selamat dunia dan akhirat.
Peran negara
Dalam berbagai kesempatan ceramah atau seminar, saya menyampaikan pernyataan, dengan agak bercanda, bahwa jika saya jadi Presiden RI, maka akan saya perintahkan Menteri Pendidikan untuk mendirikan Prodi yang bisa melahirkan “Sarjana Istri Shalihah” atau “Sarjana Suami Baik”. Sebab, istri atau suami yang baik itulah kunci pembentukan keluarga yang baik. Dari keluarga yang baik, akan terlahir anak-anak yang baik pula, yang berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Karena itu, negara harus memiliki program yang komprehensif dan prioritas anggaran untuk membentuk keluarga-keluarga teladan di Indonesia. Program itu dimulai dari pendidikan orang tua sebagai “guru keluarga”, sehingga rumah tangga menjadi lembaga pendidikan yang utama dan pertama bagi anak-anak. Program ini berbeda dengan konsep dan praktik homeschooling pada umumnya.
Masalahnya, entah kapan, negara akan paham dan sadar akan pentingnya konsep pendidikan keluarga ini. Padahal, wajib bagi orang tua untuk menjadi pendidik utama bagi anak-anaknya. Kewajiban itu tetap berlaku, apakah pemerintah menyokong atau tidak program tersebut. Untuk itulah, seminar satu hari tentang Pendidikan Guru Keluarga di INSISTS pada 30 September 2018, menjadi penting dan mendesak.
Enam materi
Sejauh pengalaman saya dalam dunia pendidikan, sekurangnya ada enam tema materi kuliah (seminar) yang penting menjadi bekal agar orang tua bisa memainkan perannya sebagai guru bagi anak-anaknya sendiri. Keenam materi itu adalah: (1) Islamic Worldview, (2) Pendidikan Anak, (3) Fiqhud Dakwah (4) Fiqih Keluarga Sakinah (5) Tantangan Pemikiran Kontemporer (6) Sejarah Peradaban Islam.
Dalam Islamic Worldview akan dibahas tema-tema yang terkait dengan konsep-konsep pokok dalam Islam, seperti konsep Islam sebagai agama wahyu dan perbandingannya dengan agama-agama lainnya. Juga, dibahas tentang konsep Tuhan dalam Islam dan mengapa nama Tuhan dalam Islam tidak menjadi ajang perselisihan. Perlu juga dipahami tentang konsep wahyu, dan bukti ilmiah bahwa al-Quran adalah kitab suci yang otentik, yang ‘lafadz dan maknanya dari Allah Subhanahu Wata’ala’. Karena itu, cara menafsirkan al-Quran pun unik.
Dalam Islamic Worldview, agar bisa menjadi guru yang baik bagi anak-anaknya, orang tua perlu juga memahami keunikan Islam yang memiliki ‘uswah hasanah’ (teladan kehidupan) yang lengkap dan final. Dengan konsep yang unik ini, maka bisa dipahami, mengapa nama agama Islam sudah final, dan sepanjang sejarah, nama itu tidak berubah, yaitu ISLAM – tidak ditambah atau dikurang. Juga, mengapa umat Islam melakukan ibadah yang sama di seluruh dunia. Umat Islam bisa shalat di masjid mana saja. Cara mengubur jenazah pun sama, dimana dan kapan saja.
Inilah yang ditegaskan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas: “Islam is the only genuine revealed religion.” (Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang murni). Islam bukan agama budaya (cultural religion) yang berkembang terus mengikuti perubahan budaya, meskipun Islam juga berhasil mewujudkan peradaban yang unik, yang tidak menolak unsur-unsur budaya yang baik dari satu lokasi tertentu.
Berpijak pada konsep worldview yang kokoh dan unik inilah, dapat dijelaskan konsep pendidikan anak yang unik pula, yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, dan telah terbukti dalam sejarah mampu melahirkan generasi-generasi gemilang, yang memimpin peradaban dunia. Aneh sekali, jika orang tua yang sudah diberi amanah berupa anak-anak, tetapi tidak mau mencari ilmu, bagaimana cara mendidik anak yang benar. Padahal, di akhirat nanti, anak-anak itu akan menuntut hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang benar dari orang tuanya.
Konsep Ilmu dalam Islam perlu dipahami oleh orang tua, agar ia bisa mengarahkan anaknya untuk menempuh pendidikan yang benar dan tepat. Orang tua wajib tahu tentang definisi ilmu, adab menuntut ilmu, dan jenis-jenis ilmu. Sebab, menuntut ilmu adalah wajib. Kewajiban itu tidak akan bisa dipenuhi, jika orang tua tidak tahu apa itu ilmu dan bagaimana cara mencarinya. Akhirnya, tidak sedikit yang menyangka, kewajiban orang tua adalah cari uang untuk menyekolahkan anak. Ia tidak merasa berkewajiban untuk mencari ilmu agar bisa mendidik anak-anaknya dengan baik.
Pemahaman tentang Fiqhud Dakwah diperlukan, agar orang tua bisa menyiapkan anak-anaknya untuk menjadi pejuang, sebagaimana diamanahkan dalam QS Luqman: 17: “Wahai anakku, dirikanlah shalat, dan laksanakan amar ma’ruf nahi munkar…”.
Jangan sampai anak-anak belajar berbagai jenis ilmu selama belasan atau puluhan tahun, tetapi mereka tidak memiliki cita-cita untuk berjuang; untuk mengamalkan ilmunya, agar bemanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, negara, dan umat manusia pada umumnya.
Jiwa pejuang inilah yang harus terus ditanamkan pada anak-anak, agar kehidupan mereka menjadi lebih berarti. Anak-anak kita bukan hasil evolusi species monyet, yang hidupnya hanya untuk makan dan bersenang-senang. Anak-anak kita adalah pewaris dan penerus perjuangan para Nabi yang misi utamanya adalah menegakkan kalimah Tauhid dan akhlak mulia.
Begitu juga, orang tua sangat memerlukan pemahaman tentang Fiqih Keluarga Sakinah, Pemikiran Kontemporer, dan Sejarah Peradaban Islam. Itu semua untuk menambah wawasan orang tua, agar bisa menjadi guru terbaik bagi anak-anaknya. Sebab, hampir pasti, anaka-anak kita berinteraksi dengan berbagai jenis informasi yang bathil, baik melalui internet, atau kurikulum pendidikan di sekolah atau universitas.
Sekali lagi, tanggung jawab pendidikan anak itu ada pada orang tua; bukan pada sekolah, pesantren, atau universitas. (QS 66:6). Karena itu, penting dan mendesak sekali pemahaman tentang bagaimana orang tua bisa menjadi Guru Keluarga! Semoga, kelak di akhirat nanti, anak-anak kita tidak menuntut kita, karena mereka tidak mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan yang benar.
Jadi, karena penting dan mendesaknya masalah ini, agar kita sekeluarga selamat dunia akhirat, maka tidak ada salahnya, kita berbincang panjang – insyaAllah — dalam acara Seminar Pendidikan Guru Keluarga di INSISTS, pada 30 September 2018. Semoga kita semua meraih ilmu yang bermanfaat. Aamiin.
Dr. Adian Husaini : pengasuh Pesantren at-Taqwa, Depok-Jawa Barat.