Negara manapun tentunya sangat membutuhkan informasi yang berkenaan dengan sejauh mana sistem yang telah didesain selama ini mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dari informasi yang diperoleh tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai acuan untuk memperbaiki kinerja sistem itu sendiri dimasa yang akan datang. Dalam dunia pendidikan, kerangka sederhana inilah yang kira-kira menjadi landasan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam menyelenggarakan evaluasi sistemik dalam pendidikannya. Sebut saja evaluasi sistemik tersebut saat ini yang lagi trend dan hangat diperdebatkan dinegara kita adalah penyelenggaraan Ujian Nasional.
Ujian Nasional yang sejak awal kemunculannya mendapatkan berbagai reaksi yang beragam dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, “ada” kelompok yang pro dan tidak sedikit pula kelompok yang “kontra” terhadap kebijkan tersebut. Ujian Nasional ditentang oleh sebagian besar masyarakat disebabkan karena pertama digunakannya standar tunggal untuk dalam mengevaluasi siswa seluruh Indonesia. Masyarakat menilai, azas keadilan dan pemerataan yang menjadi semangat penyelenggaraan sistem pendidikan nasional kita tidak tercermin dalam penyelenggaraan UN, ketika acuan penilaian yang digunakan tidak memperhatikan dinamika dan perbedaan kemampuan ditingkat daerah. Keadaan ini juga “kontraproduktif” dengan semangat kurikulum yang mencoba membangun dan menyemaikan budaya kontruktifistik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, peningkatan ambang batas kelulusan UN setiap tahun belum diimbangi dengan perbaikan infrastruktur pendidikan dan kualitas pembelajaran. Terjadi lompatan logika yang tidak dapat diterima oleh masyarakat, bagaimana ingin menyamakan evaluasi sementara terdapat disparitas yang menganga berkenaan dengan proses pembelajaran antara jawa dan luar jawa. Diakui atau tidak, jawa lebih unggul dalam hal kecepatan mengekses informasi dibandingkan daerah luar jawa, sebab berbagai fasilitas yang menunjang kearah tersebut telah memadai sedangkan daerah luar jawa masih “jauh panggang dari api”. Kondisi ini setidaknya akan mempengaruhi kelancaran proses pembelajaran pada tiap sekolah.
Bahkan, semangat “program internet” masuk sekolah baru dicanangkan beberapa waktu yang lalu sebagai bagian dari program seratus hari Departemen Pendidikan Nasional. Sebagai perbandingan dengan program negeri jiran, Kementerian Malaysia telah cukup lama mengembangkan apa yang disebut sebagai sekolah pintar (smart school) sebagai bagian dari proyek raksana yang dikenal dengan Multimedia Super Corridor (MSC). Sejak tahun anggaran 1997, Malaysia telah mengembangkan 31 sekolah menengah sebagai sekolah pintar. Empat mata pelajaran pokok di Malaysia, yaitu (1) Bahasa Malaysia, (2) Bahasa Inggris, (3) Sains, dan (4) Matematik (kita menggunakan istilah Matematika) telah disusun dalam bentuk CD, sehingga proses pembelajarannya menggunakan komputer. Lagi-lagi, fasiltias ruang kelas di sekolah ini tidak lagi ada meja kursi yang diatur berderet-deret seperti kelas model lama, tetapi kelas model baru lengkap dengan komputer untuk setiap siswa. Kalau demikian, program penyediaan internet secara massal dalam hal ini memang terasa sudah terlambat dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia. Oleh karena demikian, sepatutnya pemerintah mempertimbangkan faktor ini dalam penyelenggaraan UN.
Katiga, penyusunan butir-butir soal Ujian Nasional dilakukan secara sentralistik. Kondisi ini sangat bertentangan dengan semangat “desentralisasi” dibidang pendidikan yang selama ini telah disemaikan. Implikasinya kemudian, banyak anak yang tidak mampu menjawab soal-soal Ujian Nasional. Hal ini dimungkinkan terjadi karena meski kurikulum sama, namun masing-masing guru sebagai kreator pembelajaran dalam menginterpretasikan kurikulum menjadi lebih operasional tentunya memiliki pemahaman yang berbeda sehingga materi pembelajaranpun bervariasi, “inilah” semangat Desentralisasi Pendidikan”. Disisi lain, fenomena yang tidak kalah risihnya dan memilukan nurani bangsa ini ketika “semangat lulus 100 %” menjadi semacam keharusan telah mengubah wajah pendidikan secara massif. Berbagai cara dihalalkan untuk mencapai target tersebut, tim sukses dibentuk pada tiap sekolah meski tidak formal yang bertugas untuk membagikan ransum (kunci jawaban) pada menit-menit terakhir.
Sementara itu, tidak dapat dipungkiri pula bahwa, disisi lain keberadaan Ujian Nasional juga menjadi semacam shock terapi bagi masyarakat bangsa ini yang terkenal malas dalam membaca. Para orang tua murid yang peduli terhadap peningkatan mutu dan kualitas anak-anaknya tentunya akan mendorong anak-anaknya untuk belajar sejak dini karena mengetahui betapa sulitnya Ujian Nasional yang akan dihadapi oleh sang anak. Inilah yang menjadi argumen, dari kelompok masyarakat yang “pro” terhadap penyelenggaraan UN. Disamping itu, dengan logika untuk mengangkat kualitas anak bangsa secara bersamaan juga menjadi faktor yang mendorong UN untuk terus dipertahankan sebagai indikator kelulusan siswa.
Terlepas dari pro kontra di atas, berangkat dari azas keadilan dan pemerataan pendidikan “penulis” menyarankan untuk mereposisi Ujian Nasional. Artinya, Ujian Nasional tetap boleh diselenggarakan sebagai salah satu instrumen evaluasi secara nasional, namun peruntukannya tidak dijadikan sebagai indikator mutlak kelulusan, melainkan dijadikan sebagai salah satu indikator kelulusan dengan mengembalikan kepada daerah untuk menentukan standar kriteria kelulusannya. Dengan Ujian Nasional model baru ini, penyusunan soal tidak lagi dilakukan secara nasional tetapi dilakukan oleh masing-masing daerah. Untuk kepentingan memantau mutu pendidikan secara nasional, pemerintah pusat tetap memegang peran sebagai pemantau dan pengawas terhadap penyelengaraan UN. Dari hasil Ujian Nasioanal tersebut, kemudian pemerintah pusat dapat mengambil langkah-langkah perbaikan dan peningkatan aspek-aspek penting yang akan mendukung agenda peningkatan mutu pendidikan nasional secara keseluruhan.
Dengan model ini, Ujian Nasional juga dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan mutu sekolah secara bertahap. Karena itu, sekolah yang belum memenuhi standar pendidikan harus dibantu untuk meningkat. Model baru ini juga dapat mengikis kesan dan citra negatif yang melekat pada guru selama ini, dimana guru dicitrakan sebagai pihak yang tidak dapat dipercaya karena suka memanipulasi nilai siswanya, membocorkan soal dan semata-mata ingin meluluskan siswanya tanpa memperhatikan mutu luaran.
Pada bagian lain, dengan model baru ini, gran desain untuk meningkatkan mutu pendidikan secara sistemik dilakukan secara batton up dengan berpegang pada prinsip desentralisasi yang saling menguntungkan. Jika memang butir-butir penting dalam amar putusan Mahkamah Agung seperti perbaikan sistem pendidikan, peningkatan dan pemerataan kualitas dan kuantitas sarana pendidikan serta peningkatan akses layanan informasi kepada masayarakat pendidikan, telah dilakukan perbaikan secara terencana dan berkesinambungan, maka Ujian Nasional dapat dijadikan sebagai indikator kelulusan dengan standar kriteria kelulusan mutlak seperti saat ini dapat diterapkan kembali. Saya kira, pilihan inilah yang paling logis untuk saat ini, sebab diakui atau tidak kita masih berbenah. Kita tentunya tidak ingin terbang jauh sebelum landasan pacu kita siapkan secara memadai. Mudah-mudahan tawaran di atas akan menjadi inspirasi bagi pengambil kebijakan dalam mere-evaluasi Ujian Nasional serta menjadi landasan konseptual bagi pelaku pendidikan di daerah dalam memberikan masukan dan kritikan terhadap pemerintah pusat berkenaan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional. Wallahualam.
MUHAMMADIYAH BIMA – Mahasiswa Pascasarjana UNY
Program Studi Teknologi Pembelajaran.